Stop !! Jangan Biarkan Anak, Ngaji pada “Guru Ngaji” yang Less Expert

Stop ! Pengaruh Guru ngaji yang kurang mendalami ilmu tajwid, sangat mempengaruhi kualitas membaca Al Quran anak-anak kita hingga dia dewasa. Bahasa Allah untuk manusia yang satu ini Maha sacral, sensitive, full view words. Jika ini dibiarkan maka akan sangat berbahaya !


Mengingatkan kembali kepada para guru supaya lebih berhati-hati. Sebab kelahiran Qiraati memang berawal dari kelemahan para guru ngaji yang belum mampu mengajarkan al-Quran terhadap anak-anak secara baik dan benar sesuai dengan ketentuan ilmu Tajwid. Dalam salah satu dawuh-nya, Kyai Achmad Dahlan berujar “tidak ada anak yang bodoh, yang ada guru yang tidak bisa ngajar.”
Kritik beliau kepada para guru ngaji terkadang sangat menggelitik tapi benar, seperti hal-hal yang sangat sederhana, yang sering dilupakan seorang guru, bahwa guru hendaknya sering sering ngaji (baca al-Quran), tahajjud (sholat malam) mendoakan santri-santrinya, berlaku sabar dalam mendidik, syukur dan ikhlas atas segala yang menimpanya.
Kritik yang sederhana tersebut terlihat sangat nyleneh di telinga kita, namun dibalik semua itu tersimpan sebuah harapan besar akan keberhasilan. Sebab dalam aktifitas fisik sebenarnya teriring dan hidup aktifitas ruhani yang peran dan pengaruhnya terkadang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan sekedar aktifitas fisik. Kami melihat bahwa pesan atau kritik tersebut kelak akan sangat berpengaruh selain pada kemampuan penyerapan materi, yang lebih penting adalah pembangunan karakter mental-spiritual anak.
Di sinilah hal yang terpenting dalam dunia pendidikan. Bukan sekedar paham dan tahu akan tetapi bagaimana si santri/anak didik menyandang karakter yang terpuji, dan semua itu tentu akan dapat diwujudkan jika seorang pendidik telah memulai dari dirinya sendiri.
Persis seperti yang telah di-dawuh-kan beliau, “anak bagus melalui guru yang bagus pula.” Selaras dengan yang dikatakan oleh penulis kitab Ta’limul Muta’allim :
أفضل العلم علم الحال…وأفضل الفعل حفظ الحال
ilmu yang paling utama adalah ilmu untuk mengatur sikap prilaku, dan perbuatan yang paling utama adalah menjaga sikap prilaku.

Pernahkah Anda mendengar ada seorang artis sinetron (red: sinetron yang melebelkan nama islam; islami katanya) mengucapkan kalimat istighfar dengan “Astaghfirullah al azim” atau “Astaghfirullah al ajim” atau “Astaghfirullah al adim” padahal yang benar adalah “Astaghfirullah al ‘adhiem”. Atau anda uji diri anda sendiri barangkali? Kenapa Bahasa Al quran sangat sensitif? sebab sekali saja
menggelincirkan satu huruf dari Al Quran maka kita termasuk telah mengubah dan mencederai arti, maksud dan makna di dalamnya.
Meski tak sengaja tapi manusia bukan mahluk bodoh dengan memlihara ke”jahilan”nya itu bukan?
Contoh ini hanya potret awal dari yang ingin dibahas pada tulisan kali ini.

Tapi juga, pernahkah Anda mendengar ada seorang imam shalat yang kurang baik bacaan Al Quran-nya pada saat kita ma’mum dibelakangnya ? Misalnya :
* dia tidak fasih pada pengucapan sifatul hurf / makhrajul hurf.
* dia sering memanjangkan / memendekkan hukum mad tidak pada aturannya
* dia sering tidak menggunakan waqaf dan ibtida’ tidak pada tempatnya.
* dia sering mengabaikan hukum-hukum gharibnya dll. Atau intinya dia sangat tidak memperhatikan kaidah tajwidnya.
Ketahuilah bahwa tidak sah sholat makmum kepada imam yang ummi dengan bacaan Al Qurannya. (lihat penjelasannya DISINI)

Pada kasus pertama yang masih terbilang ringan, tentu dengan keumumuan faktorisasinya pula. Dugaan kita menggiring pada sangkaan, jangan-jangan ngajinya tidak pernah khatam, intensitas membaca Al Quran-nya minus di bawah nol. Atau mungkin ngajinya cukup ketika masa kekanakan saja. faqoth. Atau jangan-jangan mereka tidak paham dengan apa yang mereka ucapkannya sendiri.
Sehingga terkalimatilah jargon, “Ngaji itu cukup pada bocah, sekolah pada remaja, bekerja pada dewasa, dan sholat pada si tua renta.”. Ini fakta klasik perilaku dan live-steam muslim saat ini di sekitar kita.
Mudah-mudahan sangkaan kita tidak termasuk pada kategori husnudhan thinkin’. tetapi lebih dari refleksi terhadap perbaikan serta pembaikkan kita dalam membaca, mempelajari dan mendalami Al Quran.

Kasus artis di atas barangkali masih bisa ditolerir dengan segala bentuk permaafannya. Namun tidak boleh ada kalimat “pembiaran” pada berdiri seorang imam yang memimpin para jama’ah pada suatu ibadah paling sakral dunia wal akhirat bagi kaum muslimin, yakni sholat.
Ini namanya pem-fasad-an. Merusak dan kerusakan terhadap kalimat-kalimat Allah. Subhanallah. Shadaqallahul ‘adhiem (Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya)

Barangkali bisa didapati bahwa hal-hal semacam itu disebabkan,
* Boleh jadi, karena pengaruh lagam dan ragam bahasa di mana atau dari mana dia berada atau berasal.
* bisa jadi bersumber dari latar belakang keilmuan yang dimiliki.
* Juga ilmu bawaan dari guru ngajinya dulu yang dia peroleh jauh ketika masa kekanakan tadi. Lantas dia tak pernah kembali belajar pada guru atau ustadz yang lebih ahli di bidang ini (ilmu Qira’atul Quran).
Inilah yang ingin di garisbawahi.

Survey membuktikan dan membenarkan bahwa dari 1000 Mahasiswa suatu Sekolah Tinggi/ Universitas Islam dalam hal penyeleksian dan penerimaan Mahasiswa baru, tidak lebih dari 100 orang atau hanya 10 % saja yang dianggap memiliki kemampuan baca (tidak pakai tulis) Al Quran secara baik. Jika alasan mengenai Kapasitas keilmuan yang mereka miliki bisa dilihat dari mana asal pendidikan sebelumnya, Pesantren-kah, aliyah, atau Sekolah Umum-kah ? Ini klasik.
Pun lepas dari faktor kemalasan atau kerajian seorang anak, kita tidak akan bicarakan disini mengingat itu sangat relatif. Namun, kemampuan membaca (tidak pakai tulis) Al Quran mereka ini bisa ditanyakan tentang darimana dan dari siapa bimbingan itu diperoleh. Otodidak-kah, orang tuanya-kah, atau guru ngajinya-kah?

Karena fakta lain juga menyebutkan bahwa 90 % dari 100 remaja usia 13-17 tahun dengan latar belakang yang sama (red: pernah belajar ngaji pada seorang ustad/ustadzah) mengalami kesulitan melafalkan huruf demi huruf (hija’iyah) secara fasih. Justru yang terjadi adalah terbalik-balik. Padahal, pada usia ini daya lingustik (kemampuan meniru) dan melafakan huruf dan segala kaidah tajwidnya harus sudah lebih baik dibandingkan dengan anak usia di bawahnya.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh dr Paul Thompson bahwa otak berkembang mengikuti pola tertentu. Di usia 3-6 tahun yang berkembang adalah otak bagian depan. Usia 6-13 tahun yang berkembang adalah otak bagian belakang, termasuk untuk perkembangan bahasa. Apa artinya, usia 6-13 tahun adalah masa paling efektif untuk belajar bahasa, terutama untuk second language. Semisal bahasa Al Quran. (Kita tidak sebutkan bahasa Arab coz Al Quran bukan untuk Arabian saja sekalipun diturunkan dengan bahasanya orang arab)

Hasil penelitian pakar perkembangan otak dari Amerika tahun 1999, Huttenlocher, Jusyck, dan Kuhl juga menyebutkan, pada umur 6-12 bulan bayi dapat mengenali pola bicara orang di sekelilingnya. Bayi mampu mengenali kata-kata yang sering diucapkan ayah/ibunya. Makin sering orang tua berbicara kepada si kecil maka semakin kaya perbendaharaan kata yang diperolehnya. Alhasil, dia akan lebih terampil berbicara pada umur 5-6 tahun. Jadi, ternyata bayi tak cuma mengingat perkataan orang di sekelilingnya tapi juga menganalisanya. Bahkan, ia memiliki kemampuan mengingat struktur percakapan orang yang sedang berbicara di sekitarnya.
Masya Allah, jika saja anak sudah dinutrisi dengan bahasa-bahasa Al Quran ini sejak dini, maka Insya Allah niscaya dia akan menjadi seorang pembaca yang baik dan penghafal yang hebat.
Di sini peranan orang tua di rumah dan lingkungan keluarga menjadi sangat penting.

Kita tidak menyalahkan guru-guru ngaji di tempat anak kita belajar. Di Mushala, TPA/TPQ, guru ngaji rumahan dll misalnya. Demi memotivasi dan menggairahkan selera ngaji anak silahkan diarahkan. Tetapi dituntut agar lebih bijak dalam hal memilih tempat atau ustadz/ustadzah untuk mengimbangi kegiatan ngaji anak-anak kita tesebut.

Rekomendasi
Pilih ustadz/ustadzah yang punya kapability yang baik yang diakui bobot keilmuannya (bukan guru yang asal bisa ngaji). Utamanya di bidang Qira’at.
Memiliki ahlak dan perilaku yang baik, yang punya kemampuan berinteraksi dan sosialisasi yang tinggi. Guru seperti ini tidak akan membuat anak bosan tetapi justru dapat belajar menyenangkan, fun tanpa tekanan.

Andai saja jika kita cerdas sebagai orang tua, maka keterpedulian terhadap anak dalam hal mengontrol dan memmbimbing pengembangan bahasanya sejak dini, tentu di fase selanjutnya anak tidak perlu menemukan kesulitan yang menghambati.
Finalnya, kita akan bangga dan sukses menjadi orang tua mimilki putra-putri yang waladun shalih/shalihah sebagai asset dan investasi kehidupan kita dunya wa al akhirat.

wallahu a’lam
(adhie el qori)

ingat sholat !!
Software Pengingat Shalat
download di sini

Tinggalkan komentar